Jakarta, Sumol - Ditengah kondisi ekonomi masyarakat dan kenaikan harga kebutuhan pokok, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil di tengah lingkungan global yang bergejolak. Ekonomi Indonesia tumbuh 4,87% pada Triwulan I-2025 didukung oleh sisi pengeluaran melalui konsumsi rumah tangga dan sektor manufaktur dari sisi produksi.
“Ekonomi Indonesia yang tumbuh di 4,87% tadi didukung oleh konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga itu 54,5% dari total GDP kita, yang masih terjaga mendekati 4,9% atau bahkan 5%, (yaitu) 4,89%,” ungkap Menteri Keuangan dalam Konferensi Pers APBN KiTa yang di Aula Mezzanine, Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta seperti yang dilansir Sabtu (24/5/2025).
Sementara itu, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menjadi faktor yang perlu diwaspadai dari sisi pengeluaran. Menkeu menyampaikan pertumbuhannya di Triwulan I hanya 2,12%. Jika dibandingkan dengan tahun 2021 hingga 2024, capaian ini relatif rendah.
“PMTB ini yang perlu untuk kita waspadai karena pertumbuhan di Q1 adalah 2,12%. Kalau dibandingkan empat pembanding tahun sebelumnya, angka ini relatif rendah sehingga memang investment atau PMTB harus ditingkatkan,” jelas Menkeu.
Konsumsi pemerintah dalam hal ini belanja negara mengalami kontraksi 1,38% dibandingkan tahun lalu. Ini karena tahun 2024 Pemerintah memberikan bantuan sosial untuk mengatasi El Nino dan adanya belanja pemilu yang pada tahun 2025 ini tidak ada. Kemudian, dari sisi ekspor tumbuh baik 6,78% dan impor tumbuh 3,96%.
Dari sisi produksi, sektor manufaktur mencatatkan pertumbuhan 4,55%. Lalu, sektor perdagangan dan pertanian tumbuh baik dengan mencatatkan pertumbuhan masing-masing di 5,03% dan 10,52%.
“Jadi kita lihat tiga sektor terbesar manufaktur, perdagangan, dan pertanian mereka pertumbuhannya relatif stabil diatas 5%, bahkan pertanian melonjak di 10,52%,” jelas Menkeu.
Pertumbuhan komponen produksi lainnya terlihat dari pertumbuhan konstruksi, transportasi, infokom, jasa keuangan, akomodasi makan minum, dan real estate. Sementara sektor pertambangan mengalami kontraksi dan perlu ditingkatkan karena pengaruh harga komoditas.
“Untuk sektor-sektor yang tumbuh positif ini kita memberikan apresiasi,” pungkas Menkeu.
Bahkan kinerja APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun pada akhir bulan April 2025. Menurutnya, akselerasi Pendapatan Negara, terutama penerimaan dari pajak dan bea cukai telah mengikuti ritme akselerasi yang cukup baik bahkan melampaui realisasi Belanja Negara.
Secara lengkap, ia memaparkan bahwa Pendapatan Negara per 30 April 2025 telah mencapai Rp810,5 triliun atau 27% dari target APBN tahun ini. Sementara itu, Belanja Negara telah direalisasikan sebanyak Rp806,2 triliun atau 22,3 dari pagu anggaran. Dengan demikian, APBN mengalami surplus anggaran sebanyak Rp4,3 triliun atau 0,02% dari produk domestik bruto.
Pendapatan Negara antara lain disokong oleh penerimaan pajak sebanyak Rp557,1 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp100,0 triliun, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai Rp153,3 triliun.
“Di sini terlihat bahwa sudah terjadi akselerasi dari Pendapatan Negara terutama untuk pajak bea cukai mengikuti ritme yang cukup baik,” ujar
Di sisi lain, Pemerintah telah membelanjakan Rp806,2 triliun rupiah yang berarti 22,3% dari total Belanja Negara sebesar 3.621,3 triliun rupiah. Belanja tersebut terdiri dari Belanja Pemerintah Pusat sebanyak Rp546,8 triliun serta Transfer ke Daerah sebesar Rp259,4 triliun. Dilihat dari persentasenya terhadap total pagu, Belanja Pemerintah Pusat masih berkisar pada kisaran 20%.
“Maka kita lihat kecepatan dari Pendapatan Negara sudah mendahului dari sisi kecepatan untuk Belanja Negara,” jelas Sri Mulyani. Dengan capaian Pendapatan Negara tersebut, postur APBN di akhir April mulai mencatatkan surplus yakni sebanyak Rp4,3 triliun. Hal ini cukup berbeda jika dibandingkan situasi pada tiga bulan pertama tahun 2025.
Januari hingga Maret, tambahnya, waktu membukukan deficit. Ini karena terutama penerimaan pajak yang mengalami beberapa shock seperti restitusi dan adanya adjustment terhadap penghitungan tarif efektif dari TER. Sehingga di sini sekarang bulan April terjadi pembalikan dari yang tadinya 3 bulan berturut-turut defisit. (UPL)