Jakarta, Sumol - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan tengah melakukan penyelidikan terkait proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Hal tersebut disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, Senin (27/10/2025).
Meskipun demikian, dia belum merinci lebih jauh mengenai ruang lingkup penyelidikan. "Saat ini sudah pada tahap penyelidikan," ujarnya.
Asep juga belum mau merinci pihak-pihak yang telah dimintai klarifikasi oleh tim penyelidik KPK. Menurut dia, prosesnya masih dalam tahap awal dan dilakukan secara hati-hati sesuai ketentuan hukum acara pidana.
Kereta Cepat Jakarta–Bandung merupakan salah satu proyek strategis nasional dengan nilai investasi besar yang sempat menuai sorotan publik. Terutama terkait aspek pembiayaan yang berpotensi membengkakkan anggaran.
PT Kereta Api Indonesia (Persero), sang pemimpin konsorsium, harus menelan pil pahit. Sepanjang semester I 2024 saja, KAI menomboki kerugian Whoosh hampir Rp1 triliun. Estimasi kerugian sepanjang 2024 bisa menembus Rp2,69 triliun.
Efek domino ini menjalar ke anggota konsorsium lain. PT Wijaya Karya (WIKA) melaporkan rugi bersih Rp7,12 triliun pada 2023—melonjak 11.860% dari tahun sebelumnya. Direksi WIKA blak-blakan menunjuk Whoosh sebagai biang kerok.
WIKA, yang menyetor modal Rp 6,1 triliun dan masih punya tagihan Rp 5,5 triliun yang belum terbayar, kini berdarah-darah.
KPK sebelumnya sudah menegaskan penanganan perkara tidak semata-mata berawal dari laporan masyarakat. "Itu dapat dimulai dari temuan awal dan pengembangan kasus yang dilakukan secara proaktif," ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Adalah mantan Menkopolhukam, Mahfud MD, yang mengungkap adanya dugaan mark up anggaran pada proyek kereta cepat Whoosh. Menurut dia, melalui akun YouTube pribadinya, terdapat perbedaan signifikan antara biaya pembangunan di Indonesia dan Tiongkok.
"Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu mencapai USD52 juta," ujarnya. Ini berarti naik tiga kali lipat dibandingkan perhitungan di Tiongkok yang sekitar USD17-18 juta.
Mahfud menyebut dugaan mark up itu menunjukkan adanya indikasi penyimpangan dalam pengelolaan proyek strategis nasional. Karena itu, dia mendorong aparat penegak hukum untuk menelusuri lebih jauh dugaan tersebut. (UPL)

