Jakarta, Sumol - Komnas HAM memberikan perhatian serius atas konflik sumber daya alam atas aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Selain merusak lingkungan hidup, penambangan di pulau kecil melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Pengrusakan lingkungan hidup bertentangan dengan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dijamin oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 UU HAM. Setiap warga negara memiliki hak atas lingkungan hidup yang sehat. Itu dijamin dalam Konstitusi,” kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (13/06/2025).
Berdasarkan data dan fakta awal yang didapatkan Komnas HAM, diperoleh informasi sebagai berikut:
1. Terdapat lima perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu PT GAG Nikel. PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining;
2. Terdapat 6 (enam) pulau kecil yang menjadi lokasi penambangan nikel, yang dimiliki oleh 5 (lima) perusahaan, masing-masing yaitu:
a. Pulau Gag yang dilakukan oleh PT Gag Nikel.
b. Pulau Kawei yang dilakukan oleh PT Kawei Sejahtera Mining.
c. Pulau Manuran yang dilakukan oleh PT Anugerah Surya Pratama.
d. Pulau Waigeo yang dilakukan oleh PT Nurham.
e. Pulau Batang Pele yang dilakukan oleh PT Mulia Raymond Perkasa.
f. Pulau Manyaifun yang dilakukan oleh PT Mulia Raymond Perkasa.
3. Dari 5 (lima) perusahaan pemiliki IUP tersebut, sebanyak 4 (empat) perusahaan telah melakukan aktivitas penambangan dan satu perusahaan yakni PT Nurham belum melakukan aktivitas apapun di Pulau Waigeo.
“Pemerintah melalui Kementerian ESDM RI telah mencabut 4 (empat) IUP yang dimiliki oleh masing-masing, PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PTKawei Sejahtera Mining, namun tindakan itu harus diikuti dengan langkah-langkah konkret pemulihan hak-hak masyarakat setempat termasuk restorasi bekas lokasi tambang,”tambahnya.
Menurut Anis, adanya aktifitas pertambangan tersebut telah memicu konflik horizontal antara masyarakat yang menolak pertambangan dengan masyarakat yang mendukung aktifitas pertambangan.
“Komnas HAM akan turun ke Raja Ampat pada 17 Juni 2025 dan selama sepekan dan menjumpai masyarakat setempat. Saat ini terjadi konflik horizontal antara masyarakat yang menolak dan menerima aktivitas tambang nikel Raja Ampat tersebut,” pungkas Anis. (UPL)