SumutOnline Advertise

31 Izin Kehutanan Terbit di Aceh, Sumut dan Sumbar Masa Jokowi

Gelondongan penebangan hutan besar-besaran di kawasan Pegunungan Bukit Barisan. (Foto : Trip)

Jakarta, Sumol - Amalya Reza, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, menjelaskan bahwa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah mengalami kehilangan hutan alam yang mencengangkan, mencapai 3.678.411 hektare selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sumatera Utara mencatatkan angka deforestasi tertinggi, yaitu 1.608.827 hektare, diikuti Sumatera Barat dengan 1.049.833 hektare, dan Aceh dengan 1.019.749 hektare.

Namun, menurutnya, pemerintah cenderung mengecilkan dampak dari kerusakan lingkungan yang terjadi. “Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, justru menyoroti penurunan angka deforestasi di wilayah terdampak bencana dalam setahun terakhir. Padahal, penurunan tersebut tidak sebanding dengan lonjakan deforestasi yang terjadi selama satu dekade. Konsekuensinya kita rasakan saat ini,” tegas Reza melalui pernyataan tertulis pada Jumat, 5 Desember 2025.

Reza menyoroti adanya 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang telah diterbitkan di ketiga provinsi tersebut, mencakup total area seluas 1.019.287 hektare. Sumatera Utara mendominasi daftar penerima izin ini, dengan 15 izin yang mencakup area seluas 592.607 hektare.

Penerbitan izin-izin ini terjadi bersamaan dengan peningkatan tajam angka deforestasi. Trend Asia mencatat bahwa deforestasi melonjak dari 414.295 hektare pada tahun 2021 menjadi 635.481 hektare pada tahun 2022, menunjukkan peningkatan hampir 54 persen hanya dalam setahun setelah penerbitan izin PBPH.

Reza juga menggarisbawahi kaitan erat antara kerusakan hutan dan peningkatan risiko bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera. Dalam laporan sebelumnya yang dipublikasikan bersama JATAM dan Bersihkan Indonesia pada tahun 2021, ditemukan bahwa 704 konsesi pertambangan berlokasi di wilayah berisiko banjir seluas 1.491.263 hektare, serta 187 konsesi lainnya berada di kawasan rawan longsor.

Menurut Reza, tragedi yang sedang berlangsung bukanlah sekadar akibat dari cuaca ekstrem, melainkan akumulasi dari kebijakan-kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekosistem. Peningkatan drastis izin industri ekstraktif ini tak terlepas dari sejumlah kebijakan pemerintah, seperti revisi UU Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja, yang melonggarkan persyaratan lingkungan demi menarik investasi.

“Pemerintah harus bertindak tegas untuk mencari akar penyebab bencana ekologis ini dengan mengevaluasi semua perizinan, serta mencabut izin perusahaan yang bermasalah dan terbukti melanggar aturan serta memicu banjir,” tegas Reza.

Sebelumnya, Kementerian Kehutanan mengumumkan sedang melakukan investigasi terhadap dugaan keterlibatan 12 perusahaan dalam kerusakan lingkungan yang memicu banjir di Sumatera. Menteri Raja Juli Antoni menyatakan bahwa penyelidikan ini dilakukan setelah ditemukannya indikasi adanya aktivitas yang merusak kawasan hutan dan daerah aliran sungai. (Trend Asia)
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال