Ini Kata Ahli Hukum Lingkungan USU Terkait Kasus Limbah B3 RSU Bethesda Gunungsitoli

Gunungsitoli, Sumol - Pasca Polres Nias mengamankan empat orang karyawan RSU Bethesda Gunungsitoli beserta satu unit mobil pick-up beserta sejumlah limbah pada 20 Mei 2025. Lantas kasus inipun mendapatkan sorotan tajam.

Anggota DPRD Kota Gunungsitoli, Kurniawan Harefa, beberapa waktu lalu mengungkapkan jika merasa ada sesuatu kejanggalan. Ia pun mengingatkan agar kasus tersebut tidak dipelintir pihak tertentu untuk kepentingan lain.

Dan setelah dilakukan serangkaian proses penyelidikan, pada Senin 30 Juni 2025 pihak Polres Nias akhirnya melimpahkan kasus tersebut ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Sumatera Utara karena beberapa pertimbangan teknis.

Sejak berdiri dan beroperasi, RSU Bethesda Gunungsitoli dalam perjalanannya, diakui telah berperan penting dalam membangun daerah, terutama dalam hal peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan juga pembangunan sosial dan ekonomi, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan, baik tenaga medis maupun non-medis, yang berkontribusi pada pengurangan pengangguran di daerah.

Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan rumah sakit supaya masyarakat mudah mengakses pelayanan kesehatan yang tepat, mencapai kemampuan hidup sehat bagi tiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata, serta mampu mewujudkan kesehatan optimal.

Menanggapi perkara tersebut, Ahli Bidang Hukum Pidana Lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH, menyampaikan pendapat hukum yang ditulisnya pada 20 Juni 2025.

"Setiap Orang yang Menghasilkan Limbah B3 dan Tidak Melakukan Pengelolaan sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 59"

Berikut Pendapat Ahli:

Bahwa negara hukum secara filosofi negara menekankan kepastian hukum sebagai fondasi penting, menjamin keadilan dan ketertiban dalam masyarakat.

Negara hukum harus didasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas, transparan, dan terjamin, sehingga masyarakat mengetahui batas-batas perbuatan yang dibenarkan dan dilarang,

Bahwa negara hukum tidak sekadar adanya hukum, tetapi juga bagaimana hukum itu diterapkan dengan adil dan konsisten. Maka kepastian hukum menjamin bahwa setiap orang memiliki hak yang sama di hadapan hukum, serta mengetahui apa yang diharapkan dari yang mereka alami.

Sebagai negara hukum, beberapa prinsip kunci yang mendukung kepastian hukum antara lain:

Negara tunduk pada hukum, tidak ada kekuasaan negara yang berada di atas hukum. Negara harus menghormati dan melindungi hak-hak individu dan menjamin persamaan di hadapan hukum.

Peradilan yang bebas dan tidak memihak, Peradilan yang adil dan tidak terpengaruh oleh pihak manapun adalah kunci dalam penegakan kepastian hukum. Kepastian hukum berfungsi memberikan jaminan keterangan yang jelas, hukum harus jelas dan mudah dipahami, sehingga setiap orang dapat mengetahui batas-batas perbuatan yang dibenarkan dan dilarang.

Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang, kepastian hukum melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang demi stabilitas hukum.

Kepastian hukum menciptakan stabilitas hukum, sehingga masyarakat dapat mengandalkan hukum dalam melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pancasila sebagai dasar filsafat negara juga menjiwai prinsip kepastian hukum. Pancasila menjamin kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang harus diwujudkan dalam setiap pembentukan dan penegakan hukum.

Terjadi pergeseran mindset (pola pikir) di dalam perubahan, penghapusan, dan penetapan pengaturan baru dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kepada UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

UU No. 6 Tahun 2023 mengembalikan beberapa prinsip keutamaan dalam hukum lingkungan, yaitu upaya pemulihan lingkungan hidup dan upaya ganti rugi.

Umumnya praktek yang diterima dalam hukum lingkungan adalah jika terjadi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, maka lingkungan hidup harus diperbaiki seperti kondisi sebelum terjadinya pencemaran dan atau kerusakan.

Dalam hal kerusakan tidak dapat diperbaiki sepenuhnya maka ganti-rugi yang sebanding harus diberikan.

Precautionary principle: jika terjadi bahaya atau ancaman terjadinya kerusakan yang serius dan irreversible, maka tidak sempurnanya kepastian ilmiah jangan dijadikan alasan untuk menunda sanksi yang harus diberlakukan.

Restraint principle: prinsip pengendalian bahwa sanksi pidana hendaknya baru
diberlakukan jika sanksi administrasi tidak efektif untuk menangani kasus-kasus
lingkungan hidup.

Dasar Hukum

1. UUD Republik Indonesia Tahun 1945,
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. UU Nomor 6 Tahun 2023 mengatur tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 18/Puu-Xii/2014, Asas-asas Hukum Lingkungan Hidup.
5. Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor : S. 348/MENLHK/PSLB3/PLB.2/10/2018, Tertanggal 29 Oktober 2018.

Dugaan Tindak Pidana

Bahwa sebagaimana tercatat dalam surat panggilan nomor B/Und-2153/V/RES 5,3,/
2925/Reskrim, tertanggal 21 Mei 2025, atas Laporan Polisi LP/A/7/V2025/Spkt.Satreskrim Polres Nias.Polda Sumatera Utara, atas nama pelapor Bripda Juang Frans F. Laoli

"Setiap orang yang menghasilkan Limbah B3 dan tidak melakukan pengololaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59"

Mengingat

Bahwa ketentuan Pasal 59 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) telah diubah dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 mengatur tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

UU ini menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu) UU Cipta Kerja. Maka Ketentuan Pasal 59 yang diubah berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya;
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kadarluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3;
(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain;
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapatkan perizinan berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah;
(5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib mencantumkan persyaratan
Lingkungan hidup yang harus di penuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi Pengelola oimbah B3 dalam perizinan berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
(6) Keputusan pemberian perizinan berusaha wajib diumumkan;
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bahwa sebagaimana UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, pasal yang dirubah, ditambah dan dihapus antara
lain:
1. Perubahan terdiri dari 27 Pasal yakni Pasal 1, 20, 24, 25, 26, 27, 28, 32, 34, 35, 37, 39, 55, 59, 61, 63, 711, 72, 73, 76, 77, 82, 88, 109, 111, dan Pasal 112;
2. Penambahan terdiri dari 4 (empat) Pasal, yakni Pasal 61A, Pasal 82A, 82B, dan Pasal 82C;
3. Dihapus terdiri dari 10 (sepuluh) Pasal yakni Pasal 29, 30, 31, 36, 38, 40, 79, 93, 102, dan Pasal 110.

Bahwa terkait dengan penerapan Pasal 59 ayat (1) "Setiap Orang yang menghasilkan
Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya"

Bahwa dengan adanya suatu perubahan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) kepada UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, maka penerapan Pasal 59 secara formil harus melalui tahapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A, 82B, sebagaimana tertuang pada Pasal 82C.

Sebelumnya terdapat Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor : S.348/MENI.HK/PSLB3/PLB.2/10/2018, Tertanggal 28 Oktober 2018 yang di tujukan kepada Kapolri u.p Kepala Bareskrim tentang Hal "Pembinaan Pengelolaan Limbah B3 Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan".

Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dan atau unsur dugaan sebagaimana yang diproses dalam penyelidikan bahwa "apabila tidak ada yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan dan atau lingkungan hidup" sebagaimana diatur dalam Pasal 109 UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, maka hal dugaan sebagaimana yang diatur dalam aturan formil Pasal 59 merujuk pada pembinaan dan atau sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam pasal 82A, 82B, dan Pasal 82C UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.

Asas Pencemar Membayar (Polluter pays principle), liablity based on fault principle,
strict liablity principle, precautionary principle, dan restraint principle.

Bahwa prrinsip yang harus dipatuhi oleh semua stake holders dalam menjalankan aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Bagi pemerintah prinsip-prinsip ini digunakan sebagai
pedoman dalam membuat kebijakan, keputusan atau melakukan tindakan yang berkaitan atau berdampak terhadap lingkungan hidup terhadap orang yang menjalankan usaha dan atau kegiatan.

Prinsip-prinsip ini digunakan agar usaha dan atau kegiatannya tidak menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. (KN01)

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال