Jakarta, Sumol - Mahkamah Agung (MA), Kepolisian RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pihak Terkait dalam sidang Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 dan 161/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001. Ketiga lembaga ini bersama Ahli dan Saksi yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024 menyampaikan keterangan di hadapan para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/07/2025) di Ruang Sidang Pleno, Jakarta.
Kepala Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto dalam persidangan mengatakan perkara tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara yang didakwa dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor, setiap tahunnya meningkat secara signifikan. Jika dikelompokkan dari cara atau modus di dalam melakukan perbuatannya secara doktriner dapat dibagi menjadi tujuh kelompok yaitu tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap menyuap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
“Sehingga menunjukkan bahwa korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara tersebut secara riil terjadi setiap tahun,” ujar Iskandar dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dia menuturkan penambahan prasyarat dalam unsur pasal-pasal yang diuji sebagaimana kehendak Pemohon akan menimbulkan ganda perbuatan yang dilarang yakni antara melawan hukum/penyalahgunaan kewenangan dengan suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi, dalam satu pasal. Sementara suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, serta benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi merupakan bentuk delik/tindak pidana tersendiri dalam UU Tipikor yang diancam sanksi tersendiri.
Keadaan-keadaan adanya suap menyuap, penyalahgunaan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, serta benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi, jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi kerugian negara atau perekonomian negara, hanyalah merupakan modus/cara sebagai bentuk atau perwujudan konkret adanya perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang dalam delik yang mengakibatkan adanya kerugian/perekonomian negara. Oleh karena hanya merupakan modus/cara, maka dalam pembuktiannya tidak harus dibuktikan tersendiri sebagai unsur, melainkan sudah tercakup dalam pembuktian unsur melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya.
Selain itu, Iskandar juga mengatakan signifikansi dan urgensi pengaturan korupsi kerugian keuangan/perekonomian negara tidak hanya bersifat normatif saja, melainkan juga memiliki relevansi empiris dengan merujuk pada jumlah kerugian keuangan/perekonomian negara yang ditimbulkan serta prevalensi penanganan perkara korupsi kerugian keuangan/perekonomian negara. Dia mengutip analisis laporan-laporan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul “Tren Vonis Kasus Korupsi” tahun 2014 sampai 2023 didapatkan fakta berdasarkan riset putusan pengadilan dalam perkara korupsi, jumlah total kerugian negara yang ditimbulkan korupsi pada periode itu secara nasional mencapai lebih dari Rp 291,5 triliun.
Iskandar pun mengungkapkan KPK telah menangani 310 perkara tindak pidana korupsi kerugian keuangan/perekonomian negara berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sejak 2014 sampai Mei 2025. Total jumlah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dalam perkara tipikor kerugian keuangan/perekonomian negara berdasarkan pasal-pasal tersebut yang ditangani oleh KPK pada 2018-2025 mencapai lebih dari Rp 25,1 triliun.
Ketidaktegasan Norma
Di sisi lain, Alexander Marwata yang pernah menjabat sebagai Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 2012-2015 dan juga Wakil Ketua KPK 2016-2024 mengatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sering kali menimbulkan perdebatan hanya karena adanya perbedaan penafsiran yang tidak jelas kriteria penerapannya. Hal ini disampaikan Alexander sebagai Saksi yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024.
“Hal terpenting yang menjadi catatan adalah maraknya pemidanaan terhadap seseorang yang perbuatannya kemudian dirangkai sedemikian rupa agar tampak seolah-olah melanggar hukum, semata-mata untuk memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, dalam kenyataannya tidak terdapat hubungan kausalitas antara tindakan yang dilakukan dengan adanya kerugian keuangan negara dalam perkara tersebut,” tutur Alexander.
Dia menyebutkan salah satu contoh konkret dari praktik tersebut berdasarkan pengalaman langsung sebagai Hakim Ad Hoc yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 35/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, yang mana terdakwanya ialah Hotasi Nababan, yang menjadi Pemohon perkara pengujian ini, saat menjabat Direktur BUMN yaitu PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA).
Dalam perkara tersebut, Pemohon didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena keputusan bisnis yang diambilnya dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) yang melakukan kerjasama/bisnis untuk pengadaan sewa menyewa pesawat dengan PT MNA. Sebagai bagian dari perjanjian, PT MNA telah membayarkan security deposit sebesar Rp 1 juta dollar Ameriksa Serikat. Namun, TALG kemudian tidak menyerahkan pesawat dan tidak mengembalikan dana tersebut sehingga menimbulkan kerugian bagi PT MNA.
Dalam pemeriksaan tingkat pertama, Pemohon diputus bebas karena terbukti keputusan tersebut diambil secara profesional, telah mendapat persetujuan Direksi, tidak ada mens rea, tidak ada keuntungan yang didapatnya pribadi, serta tidak terbukti adanya afiliasi dengan TALG. Namun, pada tingkat Kasasi, Pemohon dinyatakan bersalah hanya karena timbulnya kerugian negara dan adanya pihak yang "diperkaya", tanpa mempertimbangkan niat atau hubungan kausalitas dari perbuatan Pemohon terhadap kerugian keuangan negara tersebut.
Perbedaan tajam antara putusan bebas dan pemidanaan ini mencerminkan ketidaktegasan norma dalam Pasal 2 ayat (1) das Pasal 3 UU Tipikor, yang memungkinkan penafsiran luas tanpa batasan mens rea, sehingga kebijakan bisnis ataupun keputusan-keputusan pejabat dapat dengan mudahnya dirangkai sedemikian rupa untuk memenuhi unsur pasal. Menurut Alexander, terdapat permasalahan-permasalahan yang muncul dari adanya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini di antaranya orang dapat didakwa padahal tidak ada mens rea pada dirinya, karena tidak ada unsur dengan maksud di dalam Pasal 2 UU Tipikor.
Jadi dalam penerapannya yang dibuktikan hanyalah perbuatannya, tanpa dibuktikan maksud atau niat jahatnya si terdakwa serta tidak ada pembeda lagi apakah kesalahan yang terdakwa lakukan itu adalah kesalahan administratif, perdata, atau pidana, semua kerugian langsung dibawa ke jalur pidana. Selain itu, tidak jelas batasan pidana tipikor dengan pidana umum dalam konteks Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor yang berkaitan dengan adanya kerugian negara.
Hal-hal seperti di atas terjadi karena ketidakjelasan norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terutama di Pasal 2 ayat (1) yang sama sekali tidak menyaratkan unsur kesengajaan sebagai maksud dalam norma pasalnya, sehingga dalam penerapannya aparat penegak hukum tidak membuktikan kesengajaan sebagai maksud tersebut. Akibatnya, seseorang dipidana tanpa kehendak sadar dari pelaku untuk secara sengaja menimbulkan kerugian keuangan negara tersebut, hanya sekadar akibat yang timbul dari perbuatan atau kebijakan yang diambil tanpa niat jahat mengambil keuangan negara. (UPL)